Menguak Seluk Beluk Perfilman di Indonesia

By Sa's
Film merupakan media visual dan audiovisual yang dapat dinikmati, dikritik dan diambil amanat dari ceritanya. Terkadang, film dapat mengarahkan para penontonnya untuk berlaku seperti aktor dan aktris yang berperan dalam film yang mereka tonton. Hal ini, tentunya memiliki relasi yang penting antara penonton, pembuat film, pemain film, dan penanggung jawab suatu karya, serta turut pula menyambahi pemerintah.
Dengan arah tersebut, perfilman Indonesia dibina dan dikembangkan sehingga terhindar dari ciri-ciri yang merendahkan nilai budaya, mengganggu upaya pembangunan watak dan kepribadian, memecah kesatuan dan persatuan bangsa, mengandung unsur pertentangan antara suku, agama, ras, dan asal-usul, ataupun menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan rasa kesusilaan pada umumnya. Dengan arah itu pula, sebaiknya diupayakan agar potensi nasional di bidang perfilman dapat berkembang dan maju dalam kerangka keserasian dan keseimbangan usaha antar unsur perfilman pada umumnya. (UU RI No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman)
Akhir-akhir ini memang kita dapat menikmati banyaknya film buatan dalam negeri yang bertahta di bioskop-bioskop. Namun, mengingat turun temurunnya perfilman Indonesia, merupakan perjuangan yang berat untuk sineas-sineas kita. Semenjak film Loetoeng Kasaroeng, film pertama yang diproduksi oleh orang Belanda dan diperankan oleh tokoh pribumi kita. Suatu hal yang membanggakan memang, tapi tahukah kita apa yang dieksploitasi dalam film-film karya lampau itu?
Loetoeng Kasaroeng serta beberapa film lain yang diiproduksi oleh kakek nenek moyang kita (Si Conat, Si Ronda Berlumuran Darah, Rencong Aceh, Elang Laut, Macan Berisik, Singa Laut, Terang Boelan, Alang-Alang, dan lainnya) justru mengarah ke kekerasan fisik, kesadisan dan kekejaman karakteristik, adegan yang vulgar, bahkan menjurus ke arah seks. Maka jadilah dunia perfilman Indonesia menjadi hal yang berkonotasi negatif.
Kemudian pada masa transisi ke orde baru, karya-karya perfilman kita justru condong ke arah pergerakan politik. Kebebasan dalam berkarya seniman-seniman film di era itu tampak begitu dipersempit, bahkan yang ada hanyalah karya yang tercipta karena rasa takut terhadap pemerintahan.
Tak lama setelah itu, dibentuklah Dewan Sensor yang dapat membatasi dan menghilangkan kontroversi film Indonesia dari pencemaran nuansa politik. Tapi justru apa yang terjadi? Dunia perfilman malah diwarnai dengan kekentalan aroma seks.
Dewan Sensor tak mampu bernafas lagi, dan digantikanlah dengan Lembaga Sensor Film (LSF) yang berfungsi sama, namun bedanya, Lembaga Sensor Film bekerja dari awal pra pembuatan film.
Pembuatan film? Memang tak sedikit biaya untuk pembuatan film layar lebar. Akan tetapi haruskah membuat film bergenre sadistis atau seks agar mendapatkan keuntungan? Keadaan seperti ini memacu seorang Garin Nugroho, Dedy Mizwar, dan sejumlah sineas-sineas lainnya untuk berkarya dalam jalur yang lurus yang dapat kita sebut sebagai langkah awal.
Pada tahun 1990-an diadakan acara Festival Film Indonesia untuk memacu semangat sineas-sineas kita. Namun sempat macet pula karena produksi film dalam negeri kita ini mengarah ke genre film orang dewasa. Dan anehnya lagi, penonton-penonton kita merupakan panduduk ranking nomor satu yang beranimo dalam hal seperti ini. Apa yang mereka apresiasi pada film-film itu?
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studio Beliau tahun 1957. Hal-hal semacam ini membuat produksi film kita mengalami pasang surut. Grafik produksi dari 106 di tahun 1989, menjadi 57 di tahun 1991, 31 di tahun 1992, 27 di tahun 1993 dan tidak lebih 60 dari tahun 1994 hingga awal 1996 ini. Sementara dari film produksi itu tercatat 22 buah merupakan film bertema seks dan kekerasan untuk tahun 1994. Dan dari tahun ke tahun semakin menurun pula. Mengapa terjadi seperti ini?
Film Indonesia seolah-olah mati suri. Terkadang bangkit dan terkadang pula melemah, bahkan juga terkadang “kacau”. Lembaga Sensor Film sendiri memang memilik peranan yang penting untuk memperbolehkan apakah suatu film layak untuk tayang di layar lebar atau tidak. Tapi, terkadang dari pihak Lembaga Sensor Film sendiri jarang terbuka. Seberapa besar, seperti apa, atau bagaimana kadar untuk pensesnsoran tidak ditransparankan.
Kita sendiri mungkin juga tidak tahu bagaimana Lembaga Sensor Film melakukan pensensoran. Masih ingat dengan film 3 Hari Untuk Selamanya? Hampir alur dari film ini sulit terbaca, bahkan pengambilan gambarnya menjadi kacau karena terjadi pemotongan di sana sini.
Kemudian film Buruan Cium Gue diperintahkan untuk mengganti judul, ini terjadi karena protes seorang Dai. Padahal sebelumnya, film ini sudah sempat tayang di bioskop-bioskop, dan kemudian ditarik kembali dari pasar.
Ada pula film Pocong yang tidak diperkenankan beredar dengan alasan yang tidak jelas karena sama sekali tidak ada transparansi untuk diklarifikasikan ke publik. Terkadang film horor di Indonesia juga tidak masuk di akal dan malah menyesatkan dan memojokkan agama-agama tertentu, walau mungkin maksud dari si pembuatnya tidak demikian.
Film 9 Naga memiliki nasib yang sama dengan Buruan Cium Gue, kalau Buruan Cium Gue hanya judulnya yang membuat kontroversi, kalau 9 Naga justru poster dan sampul-sampul VCD atau DVDnya yang disensor. 9 Naga memasang gambar seorang lelaki (Fauzi Baadila) yang dianggap memamerkan pusarnya, sedangkan dalam Islam pusar laki-laki masih dalam batas aurat.
Sempatkah menonton film Long Road to Heaven? Film ini dilarang dipublikasikan di pulau Bali karena alasan yang tak jelas pula. Entah apa yang dipertimbangkan Lembaga Sensor Film kita.
Hampir seluruh film di Indonesia ini mengalami pemotongan tak jelas dimana-mana, seperti 3 Hari Untuk Selamanya, akankah film-film lain yang akan diproduksi atau telah diproduksi menjadi terbatas akibat ketidak jelasan Lembaga Sensor Film?
Standar seperti apakah yang digunakan oleh Lembaga Sensor film kita? Yang sudah direstui, tiba-tiba diitarik lagi dari pasaran karena pengaruh lingkungan luar Lembaga Sensor Film. Dan ada pula film yang dihalalkan padahal menyalahi aturan.
Film Ekskul menjadi kontroversi yang sangat tereksploitasi publik beberapa waktu kemarin. Film yang memenangkan Festival Film Indonesia ini dikecam Masyarakat Film Indonesia (MFI) karena meniru film luar negeri.
Plagiatisme? Plagiatisme dan plagiat memang tak pernah jauh pula dari karya perfilman. Seperti Film Horor, yang mengatakan terinspirasi dari film luar negeri, serta banyak film lain yang apabila seorang penonton keluar dari gedung bioskop mengatakan bahwa film yang ditontonnya mirip atau sama dengan film lain yang lebih terdahulu ditontonnya.
Pernah Indonesia disandung dengan masalah pengembalian piala citra, Masyarakat Film Indonesia sudah teramat kecewa dengan dewan juri atau orang-orang di balik panggung yang membuat mereka merasa karya film yang bagus di Indonesia ini hanyalah murahan, dan contekan. Mereka membutuhkan transparansi dari para dewan juri yang memberikan penilaian. Memang tidak mudah apa-apa yang dilakukan oleh Masyarakat Film Indonesia, banyak yang menentang dan mencemooh, tapi untuk mendapatkan hal yang murni itu bukanlah merupakan perbuatan yang salah.
Idealnya, gerakan perubahan perfilman ini akan menyuarakan kepentingan bersama, bukan kelompok. Kecurigaan-kecurigaan yang meuncul bahwa gerakan ini hanya mengakomodir kepentingan sekelompok orang memang tidak bisa disangkal.
Tim produksi film-film kita ini juga terkadang terhipnotis pada pasar, ketika seluruh film bergenre horor laris di pasaran, maka beramai-ramai mereka bersaing membuat film mistis yang paling menyedot perhatian masyarakat.
Sedang ketika musim film-film romantis dan percintaan, maka mudah pula kita dapatkan film tersebut di bioskop mana pun. Ini merupakan bukti bahwa terkadang sineas kita berkarya untuk mengejar persaingan pasar. Belum tentu untuk benar-benar berkarya dan berpartisipasi meramaikan mengajak masyarakat untuk memajukan pembangunan nasional.
Memang film-film kita saat ini bisa disebut monoton, apabila kita bandingkan dengan film-film luar negeri, masih sangat jauh sekali. Mungkin yang paling laris di negeri kita semacam film komedi, horor, dan percintaan. Karena itu yang mungkin paling mudah dicerna masyarakat kita. Jarang kita menemukan film laga ditayangkan. Mungkin karena biaya yang terbatas pula, maka ide untuk berkarya lebih pun tak mampu terwujud. Film di negeri kita tak pelak tak mampu mebuat produksi film animasi, film keluarga, dan film laga. Mungkin belum ada ide atau mungkin belum ada biaya.
Saat ini ada film yang baru tayang, bahkan sedang tayang, film ini mampu menarik animo masyarakat untuk mengantri tiket berjam-jam dan menontonnya. Ayat-ayat Cinta. Ayat-ayat Cinta mampu menghipnotis jutaan penonton, dari yang remaja, bapak-bapak, ibu-ibu, dan tampaknya tak membedakan dari lapisan mana. Mungkin film seperti inilah yang disukai masyarakat kita. Hanung Brahmantyo pandai mengambil tiap sisi dan sudut seluruh prioritas di film ini. Bukan pasar yang sesungguhnya Beliau pandang, tetapi polemik yang diangkat dari masyarakat kita. Poligami yang menjadi kontoversi, yang dilakukan oleh berbagai pihak di negeri ini. Mulai dari tokoh agama hingga masyarakat kecil. Tak pelak adanya film ini pun mengundang perhatian mantan presiden Republik Indonesia kita B.J. Habibie.
Film nasional seperti Marsinah, yang mengangkat kisah relita dari seorang buruh wanita yang menuntut hak-haknya, dapat mengajarkan seseorang untuk melakukan sesuatu demi orang lain. Dan beberapa film nasional lainnya. Namun, sekarang sudah jarang insan film kita berminat untuk membuat film seperti itu.
Acapkali film anak-anak produksi dalam negeri turut mewarnai varietas perfilman. Ada film musikal yang diperankan oleh Sherina di Petualangan Sherina. Denias, Joshua Oh Joshua, dan masih banyak lagi. Yang layak untuk ditonton putra-putri bangsa.
Namun, ada pula film Indonesia yang justru menghancurkan budaya banngsa kita. Film Lawang Sewu terbaca seolah-olah mengkeramatkan Lawang Sewu, bangunan bersejarah yang terletak di kota Semarang itu memang dianggap sebagai tempat yang angker, namun karena adanya film Lawang Sewu, justru semakin mencemari nama Lawang Sewu dengan membuat skenario yang hiperbola.
Film Indonesia di tahun 2007 bisa jadi mencatat beberapa perkembangan menarik. Selain berhasil di beberapa festival, film seperti Berbagi Suami dan Opera Jawa juga menandai peningkatan pencapaian estetik dan isi tema. Berbagi Suami misalnya, mampu mengantarkan kisah yang memiliki banyak alur cerita, sekaligus komentar budaya yang tajam dengan nada humor mengenai sebuah tema yang sama, seperti Ayat-ayat Cinta, yaitu bahasan tentang poligami. Sedangkan Opera Jawa selain temanya kuat, juga mencatat adanya sebuah bentuk campuran antara opera dan film yang belum pernah dibuat di negeri ini, bahkan mungkin di dunia sekali pun.
Untuk meningkatkan kualitas perfilman di Indonesia ini, tak hanya pembuat, pemerintah dan lembaga-lembaga yang terlibat yang disorot, namun juga diperlukan masyarakat yang apresiatif. Jadi, problematika dunia perfilman Indonesia bukan hanya terletak pada kurang kreatifnya para pelaku perfilman dalam mengembangkan unsur tematik.
Film juga perlu dijaga dan dilestarikan, oleh karena itu di Indonesia yang juga turut menjadi pionir ini, telah menyediakan wadah untuk penyimpanan piringan-piringan mau pun rol-rol film yang bertempat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Indonesia. Mulai dari Loetoeng Kasaroeng, hingga film-film era 2000-an sudah ada di sana. (Usmar Ismail, Sinemantek Indonesia).
Film sebagai produk seni dan budaya mempunyai peranan yang penting bagi pengembangan budaya bangsa, untuk itu, perlu terus dipelihara, dibina, dan dikembangkan sehingga mampu menjadi salah satu sarana penunjang pembangunan nasional.
Mungkin kita hanya memandang sebelah mata terhadap pirsawan film. Padahal, mereka mungkin saja adalah orang-orang yang berpotensi untuk membantu mengembangkan perfilman di negeri tercinta ini.
Kemudian pada Lembaga Sensor Film yang perlu mempertegas dan menjelaskan secara terbuka apa saja peran mereka dan apa saja tugas mereka. Sehingga sineas-sineas kita jadi tahu apa yang sebaiknya mereka “garap”. Karena UU RI No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman saja tidak cukup untuk membentuk suatu batasan dan aturan yang masuk di akal.
Sekarang bagaimana tinggal Lembaga Sensor Film mampu menjadi media sekaligus jembatan seni dan budaya untuk kreatifitas insan film kita dengan penonton film kita. Mampukah Lembaga Sensor Film membuat formula-formula baru sensor yang tidak lagi mementingkan “orientasi keuntungan” namun mementingkan kreatifitas dan daya cerna penonton, sehingga penonton kita yang selama ini menjadi korban isu bahwa penonton kita identik dengan keras-sadistis dan seks vulgar dalam memahami film, dapat menikmati film-film yang bermutu yang tidak lagi harus mementingkan tema dari film barat dan yang tidak lagi harus bertumpu pada kekuatan siapa aktor dan aktrisnya, namun bertumpu pada kekuatan alur cerita, tema cerita dan solusi masalah yang disajikan dalam rangkaian cerita dalam film itu, kemudian mampu mengambil amanat sisi positifnya.
Mencoba membuat ide-ide baru bukanlah hal yang tabu, misalnya, insan perfilman kita memiliki semangat untuk membuat film yang bertema kekeluargaan, persahabatan, yang mungkin tidak didominasi unsur cinta dan cinta.
Bahkan mungkin insan perfilman kita saatnya mulai belajar untuk memberanikan diri membuat film laga dan film animasi. Seiring kemajuan dan kecanggihan teknologi saat ini, semuanya dapat menjadikan penyeimbang.
Ada pula film yang bertema religi, Presiden kita sendiri justru sangat mengidolakan film karya sutradara kondang kita Dedy Mizwar, Kiamat Sudah Dekat. Seperti Ayat-ayat Cinta pula, menyatukan toleransi antar umat beragama yang disajikan secara sederhana namun sangat bermakna. Mungkin saja dengan adanya inisiatif seperti ini, maka umat manusia di dunia akan bersatu kembali tanpa memandang perbedaan apa pun.
Mencoba membuat film bertema nasionalis sangat memperbaiki sejarah Indonesia asli yang mulai luntur. Semoga saja setelah ini ada insan perfilman kita yang berminat untuk membuat film semacam Marsinah.
Marilah, kita bersama-sama memperbaiki industri perfilman kita dan seluruh lapisannya, sesuai dengan kapasitas kemampuan masing-masing. Regulasi perfilman yang ada dan sifatnya masih mengontrol perlu dicabut dan dibuat kebijakan baru yang lebih kondusif. Semua pihak harus menyadari dan lebih giat berusaha memperbaiki keadaan menuju perubahan yang terstruktur. Pada akhirnya, perfilman nasional yang berkembang lebih baik, akan
bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia.


-MAJU TERUS PERFILMAN DALAM NEGERI-

 

0 comments so far.

Something to say?